BEBERAPA penyair bersama-sama
menulis puisi di kepalaku.
Penyair pertama menulis: kalau sampai
waktuku…. Lalu dia pergi merokok.
Penyair kedua menambahkan: kalau
sampai waktuku aku ingin mencintaimu
dengan….. “Lanjutkan,” katanya kepada
penyair ketiga.
Penyair ketiga menulis: kalau sampai
waktuku aku ingin mencintaimu dengan
sesuatu yang kelak retak… “Giliranmu,”
katanya pada penyair berikutnya.
Penyair keempat menulis: kalau sampai
waktuku aku ingin mencintaimu dengan
sesuatu yang kelak retak agar orang-
orang dibangunkan, kesaksian harus…
Dia ingin terus menulis tapi penyair
berikutnya berseru, “hei, jangan terlalu
panjang, giliranku!”
Penyair kelima itu menulis: kalau sampai
waktuku aku ingin mencintaimu dengan
sesuatu yang kelak retak agar orang-
orang dibangunkan, kesaksian harus
berdarah-darah karena kapak hitam…
“kau teruskan,” katanya
pada penyair lain.
Penyair keenam menulis: kalau sampai
waktuku aku ingin mencintaimu dengan
sesuatu yang kelak retak agar orang-
orang dibangunkan, kesaksian harus
berdarah-darah karena kapak hitam tak
tumbang-tumbang juga menenang kaleng
Khong Guan.
Mereka kemudian bertentang tentang
juduls ajak itu dan tak bisa menyepakati
apa-apa, lalu membuangnya.
Aku memungutnya, membacanya,
dan berpikir, ‘gokil juga, nih,” lantas
mengetiknya di Canva dan memajangnya
di Instagram, Facebook, dan Twitter,
oh ya, tentu saja di blog
aku juga mempostingnya.
(2021)