NINI Dampak
keliling kampung
dengan suara parau tembakau
di sepanjang jalan
dan lidah sepedas sirih pinang
menjunjung baskom alumunium
dengan garis tengah
sebesar panci mekah.
Di rumah Haji Wahid dia singgah
di rumah Haji Mahlan dia singgah
di rumah Haji Napiah dia singgah
Dan rumah kami pun dia singgah.
“Belilah, Yam,
barang baru turun
dari kapal pedangkang,
boleh cicil minyak kelapa
tiap minggu bayar dua botol,”
katanya membujuk mamaku
aku berharap mamaku tidak tergoda
karena sehari sebelumnya
dia melarang aku beli mainan pistol.
Tapi apa daya
Mamaku termakan promosinya
dia beli cipir melamin besar
bergambar kembang sepatu
gelas duralex satu lusin
teko teh porselen satu set
dan panci susun tiga tingkat
(perabot yang segera saja
menjadi sakral dan kami
tak pernah memakainya)
“Belum lunas,” kata Mama,
tapi bukan itu alasannya,
kami tak pernah memakainya
karena perabot itu
dia beli
dari
Nini
Dampak
(seorang yang seperti semar perempuan
yang kepadanya kepala kampung kami
dan anggota DPRD provinsi
datang memeluk dan
mencium tangan)
(2021)