SEPERTI memberi pengantar
sebelum aku nyanyikan lagu itu
tentang seorang yang bertahan di kafe
yang telah berbulan-bulan mati
dikepung sepi berskala besar sekali
Kamu, satu-satunya orang lain,
lebur dalam batasan, redup dan gugup,
cahaya lampu diremangkan.
“Kita mengadu rencana,
yang setiap kali selesai
satu pemaparan lantas kita ucapkan
‘tak semudah itu, Ferguso’,
bergantian. Dan kini aku
akan menyanyikannya…”
Lantas kusambar gitar
dan mulailah aku memainkan,
lagu perih yang hanya
akan sekali itu kunyanyikan.
Kamu, satu-satunya orang lain,
di kafe yang telah berbulan-bulan mati,
bosan dengan masker dan karantina
bertepuk tangan dan berseru,
“aku punya banyak lirik lagu seperti itu!”
Aku berpura-pura tak mendengarmu
Sebab telah semakin jauh saja jarak kita
dari panggung ke mejamu itu, tetapi
kenangan dan harapan akan bertahan
seperti koloni kuman tak mati terbasuh disinfektan.
Lantas kusandarkan gitar
setelah kurasa cukup mengutuki
segala yang brengsek dan berantakan
Semacam cara lain menangis dan sedikit bertahan.
Mengapa hanya ingatan. Yang selalu merampas wadah semayam. Di kepala. Dan kepulan kenangan yang terlalu manis.
SukaSuka