KETIKA mereka memilih dan menyusun seratus nama penyair, aku sedang merencanakan daftar seratus puisi terbaik untukmu. Susah sekali ternyata karena aku telah menulis ribuan puisi, dan di setiap puisi itu tak hanya sekali kusebut namamu.
Ya, tak akan ada namaku di antara seratus penyair itu, tapi akan ada namamu di tiap larik puisiku, kusebutkan atau tak kusebutkan karena engkaulah puisi bagiku, kamulah alasan bagi setiap puisi yang kutuliskan, sejak semula aku mengenalmu hingga kamu pergi meninggalkanku.
Ya, akan selalu ada namamu di semua larik puisiku, kutuliskan atau tak kutuliskan, kamu adalah udara bagi kata-kataku, darah bagi kalimat-kalimatku, apa yang kuhirup masuk mengisi paru-paru, mengalir di tubuhku, lalu kemudian harus kulepaskan kembali, berulang kali.
Akan selalu ada namamu di seluruh bait puisiku, kuwujudkan atau kusembunyikan, sejak kau menerimaku, menulis puisi tentangmu adalah menulis apa saja yang bukan kamu, dengan cara itu ingin kupastikan banyak jejak akan tertinggal ketika engkau pergi dariku.