KETIKA kelasku dapat giliran menjadi petugas apel upacara bendera, ketua kelas menunjuk aku menjadi pembaca Pancasila. Aku ingin menolak tapi kali ini aku harus berpikir lama.
Pernah aku ditunjuk jadi petugas penggerek bendera dan kutolak dengan alasan aku terbiasa menarik tali jaring ikan dengan kuat dan kencang, mana bisa aku menarik bendera secara perlahan, seiring nyanyian lagu kebangsaan pula.
Pernah aku ditunjuk jadi komandan upacara dan itu juga kutolak karena aku tak bisa berteriak kecuali di laut ketika aku dan ayahku berbicara dari ujung ke ujung perahu mengatasi angin dan hujan yang menderu kencang.
Ketika ditunjuk pembaca doa aku juga bisa menolak. Kubilang aku sudah terlalu banyak berdoa. Setiap kali aku dan ayahku melepas tambatan tali, menujukan perahu ke laut, menebar jaring, yang kami ucapkan dalam hati tak ada yang lain kecuali doa, dan kami tak pandai melafazkannya, apalagi dengan pengeras suara.
Dengan ayah, aku jarang bicara, kecuali ia bertanya hal-hal praktikal seperti sudahkah air di dalam perahu kutimba atau apakah ikan yang kami sisihkan dari hasil tangkapan kami sudah kuantar ke para tetangga kami yang miskin.
Kali ini aku merasa harus bertanya padanya, meminta saran apa alasan untuk menolak menjadi petugas pembaca Pancasila. Ia menjawab, “katakan saja kamu tak mau berdusta, ayahmu tak pernah mengajarkan itu padamu.”