It is hard not to write satire. – Juvenal
RUANG kelas ini, Ki, semakin kacau kini
Tak jelas lagi kami sedang belajar apa
sebenarnya
Tak ada yang becus mengajar
Mereka yang berdiri di depan kami
orang-orang yang terus saja bicara
dengan kata-kata centang-perenang
yang berbantahan sendiri
Mereka bicara seperti kutipan acak
dari komik Juki
atau omongan seorang menteri
mencoba berdusta
dalam dialog berjam-jam di televisi.
Apabila mereka berada di tengah kami
mereka akan bertanya seperti
kuis obat maag atau mi di televisi
lalu benarlah semua jawaban
dan kami diberi hadiah
lima lembar buku kosong
dengan sampul jelek
bergambar Garuda Pancasila
“Ambil di Ruang Guru,…” kata mereka,
“Jangan lupa tunjukkan kartu prakerja.”
Apabila mereka di belakang kami
mereka tak pernah berada di belakang kami
kami yang berpaling dari mereka, Ki…
Tapi kami tak bisa kemana-mana
ruang kelas ini seperti darurat karantina
Tak ada yang cakap mengajar
Kami menjadi murid-murid pelo
celik huruf tapi tak suka membaca
Ruang kelas ini, Ki, semakin kacau kini
tak usah kau singgah
lewat saja di depan sekolah
baca apa yang terbentang di gerbang
spanduk mahal, cetak digital
(dengan wajah politisi lokal)
sebaris ucapan dalam font komikal
: selamat Hari Penjijikan Nasional!
Jakarta, 2020
Adakah sajak Hari Butuh, Ups!!
Anak-anak masih bisa dengan leluasa memasuki ruang guru, di sekolah saya. Dan tak ada poster politikus di sana, selain RI-1 dan RI-2.