A: Hari ini, kalau kau suguhkan puisi yang buruk, bagi saya itu seperti pengkhianatan dan pelecehan terhadap perjalanan panjang puisi dan bahasa Indonesia.
B: Jika puisi yang buruk dianggap penghianat dan pelecehan terhadap perjalanan panjang puisi di Indonesia, kami (sebagai pemula) akan selalu enggan untuk menerjunkan diri dalam gelanggang sastra.
A: Jangan enggan, anak muda, majulah. Gelanggang sastra itu milikmu. Kok yakin sekali bahwa puisimu buruk?
B: Saya masih pemula. Puisi yang terlahir diibaratkan anak haram.
A: Pemula harus datang sebagai penantang, seperti Chairil dkk. terhadap Takdir dkk. Pemula harus datang dengan semangat pembaharu. Anak haram pun sah sebagai penerus.
B: Baiklah. Mohon bimbingannya.
A: Anak muda harus menolak bimbingan, jangan mau dicekoki nasihat, kalian justru harus tunjukkan bahwa kami orangtua ini sudah habis. Kalian hrus lari cepat, jauh meninggalkan kami.
B: Saya berjanji akan melangkah jauh kedepan meninggalkan pendahulu saya. Tapi sebelum itu, beri saya semisal peta agar saya tidak tersesat saat menerobos hiruk-pikuk kabut sastra.
A: Jangan minta peta! Bikin petamu versimu sendiri.
B: Wah, sepertinya akan ada seekor penerus yang akan jatuh bangun dan tersesat karena seorang penerusnya telah enggan memeluk insting seorang ayah.
A: Tidak kuat jatuh bangun? Takut tersesat? Pengen digendong ditimang-timang ayah? Manja amat. Jadi anak durhaka, dong…
B: Hahaha, ampun, Pak. Aku janji, suatu saat nanti (entah kapan) akan membuatmu tersenyum bangga melihatku.