IBU menyatukan sisa-sisa kain lama
dari lemari di dekat mesin jahitnya
lalu ia memanggilku, dan mengukur
lebar pundak dan lingkar leherku.
“Aku akan membuat baju untukmu,”
kata ibu. Mungkin, itu hadiah karena
aku baru saja menamatkan juz ‘amma.
Ibu pandai memadupadankan, kain-kain
perca itu, menjadi semacam kolase,
berbagai warna: sepotong batik cetak
dari seragam kakak, merah sisa bendera,
gambar spanduk partai, dan tentu saja
kain bekas karung tepung terigu.
Aku memakai baju itu, ke rumah guru,
mengaji dengan tajwid dan lagu, seperti
seorang qari, dari kaset masjid kami
“Apakah itu baju buatan ibumu?” tanya
guru mengajiku, ketika aku pamit malam
itu. Aku mengangguk. “Ibumu pandai
menyembunyikan, apa yang tak bisa ia
lupakan,” katanya, seperti memperhatikan
bagian kain hitam, di bagian dada bajuku.
Awwaaah. Lebih seminggu tanpa puisi. Sibuk pramuka.
SukaSuka