ANAKKU menggambar segelas cappuccino dengan gambar seperti wajahku pada permukaannya. Dan barista terkapar di samping mesin espresso yang masih menyala. Dari hidung barista itu menyembur uap panas. Dia belum mati. Tapi tak ingin hidup lagi. Buih susu meleleh pada ranting meja. Waktu yang selengket gulali, dari kanvas Dali.
Anakku mewarnai sisa ruang kosong pada gambarnya, dengan Faber Castell. Merah yang tak terduga. Siapa tadi yang memesan cappuccino itu dengan gambar wajah yang buruk pada permukaannya? Ia menuliskan kalimat tanya, pada sudut kertas. Apakah itu judulnya? Aku bertanya. Bukan, itu pertanyaan yang tak sempat dijawab oleh si barista, sebelum kuputuskan ia terkapar dalam gambarku ini.