(Memandangi foto Erik de Castro untuk Reuters di halaman depan Kompas, Sabtu 21 April 2018)
APAKAH aroma kehancuran?
Di Marawi,
dinding-dinding rumah dikelupas
sunyi gemetar, menyimpan ledakan
melukai mata yang mencari
apa yang mungkin masih tersisa
pada sisa kota
Di Marawi,
penduduk kembali
kepada langit yang putih
kepada karat tulang-tulang besi
dan paku yang lebih dahulu tumbuh
di antara puing dan puing
grafiti dan kaligrafi pada pintu dan tembok
ditulis dengan bekas-bekas hantaman peluru
yang agak sulit dibaca
Seorang lelaki bertopi
menunjuk, dan menumbuk, mencoba meruntuhkan kegelapan
dengan balok kayu yang tampak tak punya daya
Di Marawi,
Seorang perempuan yang tak bisa lagi curiga
berdiri di balkon
memandang pada suara yang sekarang
ditimpa terlalu banyak pertanyaan
sangka yang sia-sia
Sebab semua jawaban sudah tersedia
Misalnya apa yang dikatakan
oleh reruntuhan
dan aroma yang ditinggalkannya di udara kota
tentang betapa brengseknya perang, yang pernah kita duga
masih tersisa hanya dalam naskah sejarah dan kitab tua
Dan jika itu jawabannya,
bukankah kita sudah lama
tak ingin mengingat apa pertanyaannya?
Di Marawi
kota bertanya
kepada penduduk yang kembali
memunguti kangen yang berantakan
dan tak tahan melawan rasa asing
pada diri sendiri
Seperti apa bau darah manusia?