PADA 2007, saya baca puisi di Teater Utan Kayu, Jakarta. Antara lain bersama Fadjroel Rachman. Malam itu, ada seorang lelaki berambut putih. Dia adalah Oom Danarto. Kehadirannya bikin saya besar kepala. Mau juga sastrawan besar itu datang. Meskipun saya yakin benar dia tak datang untuk menonton saya.
Saya mengajaknya berbincang tentang macam-macam, terutama sastra dan seni rupa tentu saja. Saat itu saya sedang terpesona dengan ilustrasinya pada buku cerita “Wisanggeni” karya Seno Gumira Ajidarma dan buku puisi Sapardi Djoko Damono “Ayat-ayat Api”. Dia orang yang ramah. Perbincangan dengannya terasa mahal dan mewah. Buku cerpennya “Godlob” saya baca dan saya koleksi di perpustakaan kecil saya sejak SMA. Arswendo Atmowiloto menyebut-nyebut nama dan karyanya dalam “Mengarang Itu Gampang”.
Kabar kepergian Oom Danarto – setelah ditabrak sepeda motor, semalam – mengejutkan. Saya ingin mengenang beliau dengan sajak yang saya tulis setelah pertemuan kami yang pertama dan terakhir itu. Selamat jalan, dan selamat kembali, Oom. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Pelangi di Rambutmu
:: Bersama Danarto di Kedai Tempo, Kompleks Utan Kayu.
TUJUH lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Kulihat rimbun kebun, rumpun-rumpun bambu
Siapakah sufi melayang-menari bersamamu?
Siapakah sufi menyanyi irama asmaramu?
Setangkai mawar dipetik hujan di taman awan,
Setangkai mawar bersilancar di tangkai hujan
Tujuh lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Di rimbun kebunmu, naung sayap malaikat
Kakimu dan kakiku tak sampai dirayapi rayap.
>