Catatan: Serial tulisan ini adalah terjemahan dari Bab I buku How to Read a Poem oleh Edward Hirsch. Bab ini berisi 16 bagian yang menyediakan semacam pedoman bagaimana membaca puisi.
Oleh Edward Hirsch
PUISI seperti pesan dalam botol yang dihanyutkan dengan sedikit harapan bahwa nanti akan ada seorang penerima yang menemukannya. Siapa pun yang menemukan dan membaca puisi maka dialah yang menjadi penerima yang tak ternamai.

Bacalah sebuah puisi untukmu sendiri pada suatu tengah malam. Hidupkan lampu kecil dan bacalah saat kau sendirian di ruangan yang gelap atau saat orang lain tidur di sampingmu. Bacalah saat kau terbangun di pagi hari, setelah terjaga sepenuhnya. Ucapkan puisi pada dirimu sendiri di tempat di mana kesunyian memerintah dan hiruk pikuk budaya – suara berdengung konstan yang mengelilingi kita – sejenak berhenti. Puisi-puisi itu datang dari jarak jauh untuk menemukanmu. Saya ingat pepatah Malebranche, “perhatian adalah doa alami jiwa.” Pepatah ini, yang disukai oleh Simone Weil dan Paul Celan, yang dikutip oleh Walter Benjamin dalam esai magisterial-nya tentang Franz Kafka, dapat dibaca berdiri sebagai kredo penulis. Ini juga berfungsi untuk pembaca.
Paul Celan berkata:
Sebuah puisi, sebagai manifestasi bahasa dan dengan demikian pada dasarnya adalah dialog, bisa dianggap sebagai pesan dalam botol, dikirim dengan – tidak selalu sepenuh harapan – keyakinan bahwa di suatu tempat ia akan terdampar di daratan, bahkan mungkin di jantung kota. Puisi dalam pengertian ini juga berarti berada dalam satu perjalanan: mereka sedang menuju sesuatu arah tertentu.
Bayangkan kau telah turun ke pantai dan di sana, di tengah puing-puing lainnya – rumput laut dan kayu busuk, kaleng yang hancur dan ikan mati – kau menemukan botol yang tak tampak, tersembunyi, botol dari masa lalu. Kau bawa pulang dan ada pesan di dalamnya. Surat ini, sangat aneh dan mengganggu, sepertinya telah lama berkelana menuju seseorang, dan sekarang seseorang itu ternyata kau.
Penyair besar Rusia Osip Mandelstam, yang hidupnya hancur di sebuah kamp Stalinis, mengidentifikasi pengalaman ini. “Mengapa penyair tidak berpaling kepada teman-temannya, kepada mereka yang secara alami dekat dengannya?” Tanyanya di “On the Addressee.” Tapi tentu saja teman-teman itu tidak harus orang-orang di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin teman yang hanya dia harapkan, atau yang akan ada, yang dicari oleh kata-katanya. Mandelstam menulis:
Pada saat sekarat, seorang pelaut melempar botol tertutup kedap ke gelombang laut, berisi namanya dan sebuah pesan yang menjelaskan nasibnya. Lalu terdampar di bukit pasir bertahun-tahun kemudian, aku menemukan puisi itu di sana. Aku membaca pesan itu, mencatat tanggalnya, dan keinginan terakhir dan janji seseorang pun telah tersampaikan. Aku punya hak untuk melakukan itu. Aku tidak membuka dan membaca surat buat orang lain. Pesan di dalam botol itu ditujukan untuk si penemu. Aku menemukannya. Itu berarti, aku telah menjadi sang penerima pesan rahasia itu.
Demikianlah jika kita membaca puisi, maka kita menjadi pembaca rahasia teks sastra. Aku di rumah di tengah malam dan tiba-tiba mendengar diriku dipanggil, seakan-akan disebut namaku. Aku pergi dan mengambil buku itu – pesan di dalam botol itu – karena malam ini aku adalah penerimanya, pewarisnya, penghuni jantung kotanya. (bersambung)
Satu pemikiran pada “Perihal Membaca Puisi (1): Ke Jantung Kota”