Banyak sahabat yang menulis puisi untuk saya. Tapi, sajak ini beda. Bersama penyairnya kami berkongsi masa lalu, kenangan yang sama, dan tempat-tempat yang sama, di masa lalu. Nun, di kampung kami dulu…
: untuk Hasan Aspahani
Awalnya adalah kata yang tunduk pada kaidah. Lalu ia hinggapkan sayap
Menyerap madu yang memberi makna lebih dari sekedar ludah.
Ia penyumbang dengung kepada fakir lembah. Gumam indah, idgham bigunnah.
Ia adalah kata yang menumpang sayap lebah. Mengungsi ke kota yang jauh dari kampungnya untuk menerjemahkan kata yang paling ia cintai.
Sajak yang kelak ia sujudkan ke bibirmu.
Ia adalah kata-kata yang tak hendak tua
Di lanjung yang membebani pundak seorang abah
Meski ia rindu, tetap menjadi bunga untuk bisa layu
Di rahim dari seorang yang tak sekedar perempuan.
Ia sajak yang gugup menahan gempa. Kata yang rindu rendah hati ketika ia dipaksa berdiri
Gegap dan gempar mimbar-mimbar tinggi.
Ia mengamanahkan padaku dua buku puisi.
Ia titipkan pesan. Tak usah menjadi Hasan.
Jadilah kau sajak yang ihsan.
Bang Hasan, kalau saya mengirim puisi kepada Abang, bagaimana? Apa boleh?
SukaSuka
Pajang saja di blog Anda… nanti saya reblog… Terima kasih…
SukaSuka