BLOG, dinding Facebook, apa pun yang sejenis itu, adalah studio bagi penulis. Jika kau penyair, kau pajang puisimu di sana, bahkan kau menulisnya di sana. Ada sajak yang selesai. Ada sajak yang kelak kau perbaiki lagi. Ada sajak yang kau hapus dan kau lupakan, kau anggap tak pernah ada.
Kawan-kawanmu datang ke studiomu. Ada yang memperhatikan apa yang kau pajang, ada yang datang untuk mengajakmu berbincang soal lain, dan tak peduli pada sajakmu. Ada yang memuji, ada yang tak mengerti.
Tapi studio adalah rumahmu. Kau bebas menulis atau tak menulis apa saja. Di rumahmu tak ada orang lain yang mengatur bagaimana kau harus menata apa yang kau pajang. Tak ada kurasi, tak ada seleksi. Di studiomu kau membuka diri, membiarkan tetamu melihat prosesmu menulis.
Tapi studio bukan galeri. Galeri bukan studio. Di galeri kita harus datang dengan satu konsep yang hendak ditawarkan. Kau memilih karya-karyamu yang mendukung konsep itu. Jika bukan oleh editor atau kurator, maka kau harus menjalankan pekerjaan kurasi itu sebelum pameran di galeri manapun.
Galeri yang bukan studiomu itu adalah bukumu, adalah lembaran sastra di majalah dan surat kabar. Mengirim karya yang pernah kau pajang di studiomu adalah proposal untuk berpameran. Ada pengunjung lain, peminat lain, pembaca lain, yang mungkin menemukan karyamu di galeri itu, pembaca yang mungkin tak pernah datang ke studiomu.
Akan tetapi, tentu saja kau boleh puas hanya bermain di studiomu saja. Kau boleh menganggap studiomu adalah galerimu. Kau boleh merasa berpameran sambil berproses, menaik-turunkan karyamu di studio yang kau anggap galeri pameranmu.
Memang, perlu keberanian untuk maju menggelar sebuah pameran. Karena itu orang mudah tergerak untuk menghargai keberanian semacam itu.
Reblogged this on Jamil Massa.
Reblogged this on Penuaisenja. and commented:
Renungan kecil tentang media.