Pablo Neruda
Kuda dari Serangkai Mimpi
Tak perlu, melihat aku dalam bayang kaca itu
seperti terima uang gaji, penulis biografi, atau lembar kertas
Aku bisa paksa keluar hatiku, sang penghulu neraka itu
Lantas kugubah klausa tak berhingga, klausa dukalara
Aku ngembara dari mana ke mana, menyerap ilusi
berbincang dengan para tukang jahit di rumah mereka,
mereka, seringkali dengan suara jelek bikin kuping buntu
bernyanyi, maka larilah menjauh segala kutukan itu
Ada negeri yang luas di langit itu
dengan permadani pelangi khayali
dan dengan rimbun tumbuhan menyemerbaki petang hari:
ke sana aku menuju, tentu tak bersama rasa lelah itu
melangkah di tanah kuburan baru dilapangkan dari batu nisan
Aku mimpi antara tanaman dan legum yang bimbang
Aku senang melintas di antara dokumen, mataair ilham,
ditata sebagaimana adanya dan remuklah hati:
Aku suka madu yang menyalut yang menaruh hati
tanya jawab yang manis, antara siapa yang di halamannya ada
bunga violeta tertidur, memudar dan menua,
dan sapu, juga yang menjadi pengganggu,
dalam pemunculan, tanpa ragu, yaitu sesal yang pasti itu.
Aku hancurkan mawar yang melengking dan memukau cemasku:
Aku pecahkan kekasih terkasih: dan yang lebih dalam lagi,
Aku tunggu waktu yang sama itu, tanpa menimbang lagi:
rasa yang terasa, yang dalam jiwa menghimpit aku saja.
Telah tiba hari! Telah menebal putih susu oleh cahaya!
padat, seperti jari-hari, membuai nikmat rasaku
yang telanjang, tanpa ladam kuda dan memancarlah sinar.
Melintaslah aku bersamanya di atas gereja-gereja,
Aku lari berlari meninggalkan barak tentara
lalu seorang tentara palsu mengejarku.
Matanya eukaliptus yang mencuri teduh naungan,
tubuhnya lonceng lancang berdentang.
Aku ingin sekilat sinar yang tak putus datang
kenduri keluarga meneruskan warisanku.
Catatan: Ketika berbincang perpustakaan Kata Kerja di Makassar – dengan kopi toraja dan roti cokelat, tuan rumah M Aan Mansyur meminjami saya Memoirs karya Pablo Neruda. Sudah lama saya mencari buku ini. Tuan rumah yang baik membolehkan saya membawa buku ini ke Jakarta. Yang pertama saya lakukan terhadap buku ini adalah membaca bagian di mana Neruda berada di Batavia, nama Jakarta waktu itu. Ia menjadi konsul Chile, pada 1930, dan di bukunya itu ia mencatat sempat tinggal di sebuah rumah di Jalan Probolinggo, kawasan Menteng. Di buku ini ada kronologi yang menyebutkan selama di Batavia, Neruda menikahi perempuan Belanda berdarah sedikit Jawa, dan menulis tiga sajak – atau setidaknya sajak-sajak itu terbit di Revista de Occidente No. LXXXI pada Maret tahun yang sama. Tiga sajak itu yaitu: “Galope Muerto”, “Serenata”, dan “Caballo de los Suenos”. Yang terakhir itulah yang saya terjemahkan lebih dahulu. Dua saja lainnya menyusul. Untukmu, Aan, saya menerjemahkan ini, sebelum saya kembalikan bukumu ini, ya…