IA meneliti lagi jahitan yang menyatukan
dua lembar kain itu
Ia memeriksa lagi tiang bambu di halaman
yang akan mengibarkan merah putih itu
Seperti harapan,
orang-orang mulai berdatangan,
orang-orang yang juga membawa cemas
untuk pagi yang datang terlalu lekas
dan yang direbut dari malam yang terlalu lama
Ketika ada yang mendesak
dan didesak oleh matahari yang terasa lebih panas
ia telak menolak, “Tidak, aku menunggu Hatta…”
Ia menolak dengan ketegasan yang sama
seperti ia tunjukkan dalam pidato pembelaan
pada sidang yang beberapa tahun lalu menghukumnya: terbuang
dan terasing jauh dari Jakarta,
dari mimpi yang sejak dini ia perjuangkan
Ia berbaring dan memejamkan mata,
menggumamkan refrain yang akan dinyanyikan itu, “Indonesia Raya…”
Ia diserang demam. Semacam malaria ringan.
Teks itu berkali-kali ia ucapkan lagi, “Proklamasi…”
Ia tahu,
Hatta yang taat janji itu
akan datang pada waktu yang sudah disepakati
datang pada waktu ketika orang-orang riuh berseru:
Hidup Bung Karno!
Hidup Bung Hatta!
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
Ia bangkit dan tersenyum
kepada istrinya yang sedang menggendong anaknya,
“Mana peciku, Fatma?”