KAMUS besarku adalah tempat sampah yang memungut dan menampung kata-kataku, kata-kata yang tak ingin kuucapkan. Sejak menjadi warga negara bahasaku sendiri aku terus belajar untuk bisa diam. Tapi diam ternyata juga perlu kata-kata. Diam juga perlu menguasai bahasa.
Kamus besarku adalah tempat sampah di pojok pikiran, kata-kataku di sana membusuk, melapuk, dan di situ diamku lalu tumbuh menjadi pohon aneh yang mulut-mulut di daunnya berebut berbicara, aku tak bisa menangkap apa-apa dari keributan itu – kecuali “kecuali”.