
NAMA lengkapnya adalah Giosuè Alessandro Michele Carducci (27 Juli 1835 – 16 Februari 1907). Ia adalah penyair dan juga seorang pengajar.
Dia adalah sosok yang sangat berpengaruh bahkan dianggap penyair nasional resmi dari era sastra moderen Italia. Pada 1906 ia menjadi orang keenam yang meraih Nobel Sastra, dan orang Italia pertama yang mendapat anugerah tersebut.
Nobel Sastra diberikan padanya dengan…. Tidak hanya mempertimbangkan pembelajaran yang mendalam dan penelitian yang kritis, tetapi di atas semua sebagai penghormataan kepada energi kreatif, kesegaran gaya, dan kekuatan liris pada karya-karya puitiknya yang agung.
Kebesaran sosoknya diiringi banyak kontroversi, misalnya ketika menulis sajak yang memuja setan, Hymn to Satan. Tapi bukan sajak ini yang ingin saya terjemahkan.
Mari kita nikmati sajaknya yang lain dengan sepuluh terzet berikut ini:
Di Piazza San Antonio
GELAP pada jernih musim dingin mempertegas
menara-menara Bologna, dan di atas menara itu tertawa
lereng gunung, yang memutih diputihkan salju.Inilah saat-saat yang paling cengeng ketika matahari
pamit mati kepada menara-menara itu
dan, Saint Petronius ada di bangsal kuil-Mu,—Menara berbenteng seperbentangan sayap
dari abad-abad mati itu menjaga ternak merumput
dan ada kuil makam di puncak yang terkucil.Langit yang gelap-kedap menggigil berpancaran
dalam jangkau kilaunya, dan udara terhela
ke atas piazza, bagai mahna selakaAda yang lembut mengusap-menyentuh-membelai
reruntuhan ketakutan, dalam kepungan dinding muram,
bangkit bersama lengan Bapa kami, berlingkaran lembaran.Masih tertinggal di tinggian pegunungan, matahari itu
memandangi bentangan, dan senyumnya yang lesu
berjatuhan mengisi warna bunga violeta.Pada bangunan berbatu abu-abu dan pada gelap
bata Vermilion, dan tampaknya ada bangkit di sana
Jiwa hidup dari berabad-abad yang lenyap;Yang bangkit di tajam udara musim dingin
Kemurungan rindu pada kemilau cahaya
dari musim semi-masa lalu, dari semarak hangat malam.Di piazza ini dulu mereka pernah menari
para wanita cantik itu, dan ke rumah kemenangan
kembali para utusan dengan raja-raja tawanan.Dan dalam terbangnya, Dewi Muse mengilai lagi tawa
melampaui nyanyian di mana debar kerinduan itu sia-sia
bagi semua keindahan lapuk yang telah tak ada.