Catatan: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Karena nanti kau akan dilupakan oleh sejarah, kata saya menambahkannya. Cara saya mengingat sejarah adalah cara penyair, yaitu dengan menyajakkannya. Inilah tiga sajak hasil dari upaya saya mengingat sejarah itu. Selamat membaca!
Revolusi sedang Terburu-Buru
: Sutan Sjahrir
REVOLUSI sedang terburu-buru:
sudah sangat terlambat untuk sebuah sarapan.
Di dalam penjara
ia seperti mendengar mesin ketik, dan
dentang piring seng, sisa makanan diperebutkan tikus dan kucing.
Ia teringat Joji
Anjing berani yang mati setelah menyalak pada patroli Belanda
Tapi ini bukan Banda. Dan ia sedang di dalam penjara.
Ia bermimpi tentang arumbai dikayuh anak-anak yang merdeka,
menjemput menyeberangi selat. “Om Rir, ayo, main bola lagi kita!”
Di dalam penjara
ia mencoba mengingat nama-nama kucing Hatta,
Franco? Mussolini? Hitler? Turky? Jika harus ada
seekor lagi, ia tahu akan mengusulkan nama apa.
Tapi ia tahu, ia sedang di dalam penjara, ia sedang disajikan
untuk Revolusi yang sedang buru-buru dan lapar itu.
(2016)
Catalina Terakhir dari Halmahera
SETELAH itu pada Banda akan datang badai dan gempa
Setelah Catalina terakhir, menjemput dari Halmahera.
Sempatkah kau hitung tadi lubang bekas peluru itu, Hatta?
Sjahrir tak lagi bertanya, juga kepada dia, pilot Amerika.
Ia menyesali Ali yang lari, dan Des yang harus menunda
bersama peti-peti buku yang nanti berlayar bersamanya.
*
Badai dan gempa, setelah itu, memang datang ke Banda.
Pesawat tempur dengan lingkar merah pada sayapnya,
jatuhkan bom di sepanjang benteng, dan sebuah menara.
Perempuan yang tadi menangis di teluk pagi, yang sejuk lagi,
lanjutkan lebat tangisan, meneruskan kehilangan ke ketakutan.
*
“Kita korban tak sia-sia, dalam perang besar, yang sisa sebentar…..”
Sjahrir menyesalkan – dan ingin melupakan – renungan yang mestinya
ia tuliskan dalam surat berperangko Ratu Wilhelmina.
*
Badai dan gempa, memang datang ke Banda, setelah itu, juga
hadang di Surabaya, Sukabumi, Bandung, dan tentu Batavia.
(2016)
Apa yang Tak Ada pada Buku Poeze
WAKTU itu, Poeze, bisa bikin sejarah darah jadi bagai karikatur,
yaitu ketika rapat umum dirangkum pada kolom pojok penuh olok.
*
Di Yogyakarta mereka bertemu dan pura-pura berdekapan.
“Aku masih murid Marx dan Tjokroaminoto,” kata Sukarno,
lalu ia pun bertanya, “Berapa nomor pecimu kini, Moesso?”
Ini tentu tak ada pada lembar-lembar halaman bukumu, Poeze.
Hatta mengelap kacamata, ia mungkin sudah melihat,
bintang akan memerah di langit Jawa. Langit Jawa
yang robek oleh ujung bendera, dan sepasang alat kerja.
Hatta mengelap kacamata, menghilangkan kabut di sana.
Dan Moesso menggulung lengan bajunya, di podium itu,
menunjuk poster Lenin-Stalin, dalam gemuruh seribu buruh.
Ia tertawa, sangat suka tertawa, tawa yang ia bawa dari Moskwa,
tawa di antara nama-nama yang ia sebut dalam pidato-pidatonya.
*
Waktu itu, Poeze, mesiu ingatan kami – bersumbu pendek sekali.
(2016)
Bagai lukisan : Indahku kagumi sulit kunikmati
SukaSuka
Harus baca sejarah. Ini memang akan jadi serangkaian puisi yang “berat”. penuh alusi. Hehe…
SukaSuka